“Sitinjo, An Unique Spiritual Tourism Site.” Demikian sebuah media
nasional berbahasa Inggris tanah air, 9 Januari 2005
menginterprestasikan panorama wisata alam religius Dairi yang akan kami
singgahi. Letaknya di Kecamatan Sitinjo, 3 kilometer dari Kota
Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara.
Mobil masih melaju melintasi aspal hitam. Pemandangan di luar kabin
seakan menarik kami untuk segera tiba di tujuan. Tak sabar rasanya.
Fauzi, sang fotografer mulai sibuk menyetel kamera. “Ini pasti menarik,”
katanya.
Tak lama, mobil menikung ke kiri, melewati sebuah portal yang
bertuliskan “Taman Wisata Iman”. Taman Wisata Iman, sebuah nama yang
tepat untuk lokasi yang mengandung sejuta makna ini. Jejeran pinus
menghantar kesejukan pada mata. Lalu, satu persatu bangunan rumah ibadah
masing-masing agama tampak berdiri tegar. Semua rumah ibadah ada di
sana. Seakan-akan Dairi ingin menunjukkan bahwa keaneragaman agama yang
saling rukun dan bersatu adalah sesuatu nilai yang agung dan pantas
ditanamkan.
Mobil kami menanjak jalanan berliku. Namun bagi umat Kristiani,
jalanan yang berliku dan mendaki diyakini memiliki nilai spiritual
tersendiri. Bagi mereka, berjalan di sepanjang Taman Wisata Iman
mengibaratkan perjalanan Yesus memikul salib hingga Puncak Golgota.
Mereka tertawa, tersenyum. Tampak sesuatu di wajah mereka. Nyaman. Dan, yang pasti mereka berbeda agama.
“Itulah fungsi utamanya. Mengenang penderitaan Yesus atau the Passion of the Christ seperti dalam film gubahan Mel Gibson itu,” kata Sekda Kecamatan Sitinjo Anton Sihaloho sarat makna.
Sekitar 100 meter setelah mendaki jalan berliku, perjalanan kami
hentikan. Sebuah vihara berdiri tepat di sebelah kiri jalan. Vihara
Saddhavadana namanya. Vihara ini telah berdiri sejak tahun 2002 dan
hinga kini selalu ramai dipenuhi umat Buddha baik lokal mau pun Medan,
bahkan kota-kota lain.
Memasuki bagian dalam vihara, sejenak keheningan terasa. Sebuah
patung Buddha duduk bersila dengan telapak tangan menengadah ke depan
sementara tangan kiri menyokong sikunya dari bawah. Temaram lampu redup
menyala membikin suasana semakin sakral. Gema suara pelan dengan penjaga
vihara masih dapat terdengar menggelinding di antara bangunan.
Perjalanan kembali dilanjutkan. “Goa Bunda Maria, sakralnya,” Membuat
kami penasaran. Kami pun segera turun. Sebelum menuju ke sana kami pun
harus melewati jalan-jalan setapak menurun. Hamparan bunga-bungaan
sedikit mengusik pikiran akan firdaus. Sungguh damai.
Jalan menurun, meski melelahkan namun paling tidak sebuah makna
tergapai dari sana. Relief-relief yang menggambarkan perjalanan
penderitaan Yesus sebelum naik ke surga (the Passion of the Christ)
terasa hidup. Patung-patung itu menggambarkan ketika Yesus diadili,
disiksa, memikul salib ke Puncak Golgata hingga akhirnya Ia disalibkan
dan dikuburkan di sebuah gua.
Beberapa pondok kecil dengan jendela terbuka menghadap lembah dan
bukit meramaikan bangunan gereja di samping relief-relief itu. Sambil
menunggu keluarga yang sedang berdoa, para pengunjung beragama Kristen
masih dapat bersabar dengan ayunan dan beberapa tempat duduk dari kayu
di taman tak jauh dari pondok doa itu.
Masih setengah perjalanan. Terasa lelah mendaki jalanan berkelok naik
turun, kami pun beristirahat sejenak. Pemandangan alam yang indah.
Udara aroma pinus tercium di mana-mana. Anak-anak pelajar tampak
berbondong-bondong. Beberapa keluarga asyik berkumpul menikmati makan
siang beralaskan tikar. Mereka tertawa, tersenyum. Tampak sesuatu di
wajah mereka. Nyaman. Dan, yang pasti mereka berbeda agama.
Kami akhirnya tiba di sebuah bangunan mesjid dan relief Ka’bah di
sampingnya, setelah beberapa menit mengunjungi pura bagi penganut agama
Hindu. Bangunannya tepat menghadap lembah dengan sebuah taman dan tempat
duduk kayu di depannya. Dari sini akan tampak pemandangan menuju
Kecamatan Sumbul.
Relief Ka’bah tampak dikelilingi bunga-bunga. Beberapa pengunjung
tampak asyik membidikkan lensa kameranya. Ada juga yang berjalan-jalan
di sekitar taman sambil memandanginya lama-lama. Inilah puncak perjalan
ke Taman Wisata Iman.
Sembari menikmati hidangan kopi panas, di hari yang mulai sore itu,
kembali terenung dalam hati bahwa inilah karunia Sang Penguasa. (Seperti
dikutip dari www.tonggo.wordpress.com, atas ijin pemilik blog)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar